Mewajarkan Kekerasan Atas Nama Agama


            Indonesia yang harusnya menjadi rumah yang aman, tempat semua warganya berlindung, kini menjadi sangat mengerikan ketika beragam isu yang menyangkut ranah agama mulai muncul dan menimbulkan banyak polemik. Sekumpulan orang yang mengatasnamakan diri sebagai pembela agama, kemudian menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang mereka anggap benar. Seperti isi dalam kitab yang mereka yakini tidak memiliki satu kesalahan pun. Tindakan kekerasan yang bukan hanya berupa kekerasan fisik, tetapi jauh lebih dari itu dirasakan oleh segelintir orang yang menjalani hidup berbeda dengan orang lain.
            Mari sedikit merambah pada sesuatu yang sering menjadi buah bibir, yaitu LGBT. Indonesia yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam menjadikan itu sebagai suatu kesalahan terbesar. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) seakan menjadi suatu penyakit menular yang menakutkan seluruh warga kota. Padahal tentu saja, mereka tidak ingin seperti itu. Orang-orang yang menjadi LGBT bukanlah orang-orang tanpa Tuhan dan agama. Mereka lahir tentu saja mengikuti agama dari kedua orang tuanya dan tentu saja tidak ada agama manapun yang menyuruh mereka menjadi begitu.
            Yuli Rustinawati, salah seorang pegiat hak asasi manusia dari Arus Pelangi, kemudian memaparkan bahwa data pada tahun 2013, sebanyak 89,3 LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Terjadi 142 kasus penangkapan, penyerangan, diskriminasi, pengusiran, dan ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompok LGBT. Jumlah tersebut tentu saja bertambah dari tahun ke tahun, mengingat para LGBT semakin menggaungkan suara untuk mendapatkan hak-haknya dan diterima sebagaimana masyarakat pada umumnya di negara mereka sendiri.
            Mewajarkan sesuatu demi apa yang diyakini benar dan tidak bisa lagi terbantahkan, meski harus melalui jalan kekerasan sesungguhnya tidak akan pernah berhasil. Semua manusia memiliki pengalaman dan mendapatkan pendidikan yang berbeda. Wajar saja bila pola pikir mereka cenderung dipengaruhi oleh apa yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Sayangnya hal tersebut menjadikan mereka menutup diri tentang bagaimana pendapat orang lain. Mereka seakan memberikan ruang di kepala berisi apa saja yang mereka mau dan tentu ruangan tersebut memiliki pintu yang keras dengan kunci yang besar dan tidak akan terbuka bila bukan pemiliknya sendiri yang menginginkan.
            Kekerasan yang diterima oleh kelompok LGBT adalah kekerasan yang membuat psikis mereka terguncang, mereka merasa tidak aman, dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan (apalagi dibuktikan dengan paparan seorang dokter yang mengatakan mereka bisa terkena penyakit kelamin), hingga tidak dibiarkan bekerja di beberapa tempat tertentu. Mematikan nurani dan pikiran sekaligus, tidak masalah lagi bagi orang-orang yang berpendapat bahwa dalam agama, menjadi LGBT adalah suatu dosa besar. Padahal jika mereka, para orang-orang pembela agama ini (meskipun agama dan Tuhan tentu saja tidak perlu dibela) mau melakukan musyawarah dan berbicara dengan kepala dingin kepada para LGBT, bukan tidak mungkin suatu solusi besar bisa dihasilkan. Daripada terus menerus meneror mereka dengan mengeluarkan ayat dan sabda-sabda tentang betapa laknatnya mereka dan betapa neraka jahannam telah menunggu mereka sesaat setelah mereka meninggal.
            Kembali bercerita tentang hal remeh temeh di negara tercinta kita. Semua orang di Indonesia tentu akrab dengan nama Dorce Gamalama. Seorang transgender yang sempat wara-wiri di stasiun TV. Dorce adalah sebagian kecil dari LGBT yang berhasil bertahan hidup dan jaya hingga hari ini. Tidak ada yang mencercanya dengan sangat beringas, meski tidak bisa dipungkiri juga bahwa tidak semua orang bisa menerimanya saat pertama kali muncul di layar televisi kita saat itu.
            Namun kisah Dorce yang sukses dan bisa hidup aman hari ini, tidak lebih dari mimpi yang diterbangkan koran pagi bagi mereka, para waria yang masih menggantungkan hidupnya dengan mengamen di mana-mana. Entah saya lupa pernah baca di mana, Dorce Gamalama saat diwawancarai oleh sebuah media tentang LGBT, dengan tegas mengatakan bahwa orang-orang akan menghargai kita hanya ketika kita memiliki banyak uang. Mengingat itu, saya mengangguk dalam hati. Toh, bukannya hari ini sudah terbukti?
            Pada akhirnya, mengatasnamakan agama untuk melakukan kekerasan dalam masalah apapun itu seperti contoh kecilnya adalah LGBT sudah tidak seharusnya lagi diteruskan. Bukankah setiap agama menganjurkan untuk bermusyawarah? Apakah ada jaminan masuk surga bagi mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan menghilangkan hati nurani yang diberikan dari Tuhan, semata demi menyakiti orang lain? Kalau jawaban dari pertanyaan terakhir adalah iya, mungkin sebaiknya kita mengkaji kembali ilmu agama yang kita miliki secara mendalam. Cheers!

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman