KEKHAWATIRANKU TENTANG MENJADI TUA DAN MATI


            Minggu pagi yang cerah dan Jogja yang sudah mulai sehat seperti biasanya. Entah apa yang dirasakan si Gunung Merapi setelah terbatuk-batuk tempo hari. Memikirkannya saja aku sudah tidak bisa. Kasihan dia, tua dan renta. Ditinggalkan juru kuncinya yang meninnggal dalam peluknya, meninggal sembari bersujud di sekitarnya.
            Aku tidak tahu banyak cerita soal kota yang kutempati sekarang. Jogja (meskipun aku tahu tulisannya Yogyakarta, tapi agak aneh menuliskannya dengan nama Yogya, jadi kuputuskan menggunakan Jogja) adalah kota yang ramah menurutku. Dia mau saja didatangi oleh siapapun dan darimanapun. Termasuk aku yang akan menghabiskan dua tahunku di sini.
            Pagi ini aku terbangun dengan perasaan gundah. Sudah 23 tahun umurku. Beberapa temanku di usia seperti ini sudah ada yang punya anak 2, sudah ada yang hamil besar, ada yang sebentar lagi melahirkan, dan ada yang sedang menghabiskan waktunya menikmati tumbuh kembang anaknya. Tetapi ada pula yang sedang giat-giatnya menyiapkan pernikahan, ada yang masih asik pacaran, dan tentu saja ada yang betah sendirian. Begitulah—di usia sekian, kita akan dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari situasi sosiokultural kita. Ada temanku yang kadang bertanya, jadi kamu selesai S2 mau langsung menikah dong? Aku hanya geleng-geleng kepala, di dalam hati aku berkata, sesungguhnya inilah cita-cita terbesar dari mamaku, yang sayangnya enggan untuk kuwujudkan.
            Semalam aku baru saja menonton sebuah video, ada seorang wanita yang berasal dari latar belakang budaya yang kental dan mengharuskannya mengikuti semua kata orang tuanya, termasuk ketika disuruh menikah di usia 19 tahun oleh ayahnya. Meskipun setelah itu dia tidak pernah hidup bahagia. Katanya, aku hidup di keluarga yang budayanya tidak pernah menerima anak-anak yang pembangkang. Jadi aku menuruti semua kata orang tuaku, termasuk menikah, meski aku tidak merasakan bahagia sedikitpun. Aku membayangkan aku adalah dia dalam kondisi yang serupa. Dengan kondisi psikologis sepertiku, aku tidak yakin masih bisa hidup sampai hari ini.
            Di suatu malam saat mamaku sedang ada di kebun untuk memetik cengkeh yang sedang naik harganya itu, aku berbicara melalui sambungan telepon tentang banyak hal. Kuberitahu mamaku kalau terkadang, aku ingin belajar sesuatu tanpa merasa dikejar oleh satu kewajiban. Menghabiskan S1 dengan belajar untuk mencari materi skripsi sudah menyulitkanku, Ma. Ditambah lagi dengan S2 yang waktunya sangat singkat dan mengharuskan kita berkuliah demi mencari materi mendalam soal tesis. Begitulah kira-kira kalimat yang kupilih untuk kusampaikan pada mama yang kadang perasaannya halus, mudah tersinggung, dan kepikiran yang membuat tidurnya kadang terganggu.
            Aku mengatakan bahwa aku setuju jika hidup akan selalu membawa kita ke sebuah tujuan. Tapi rupanya, kutemukan diriku mulai jenuh dengan itu. Aku berangan-angan belajar tentang sesuatu dengan sangat tenang dan pelan. Merasakan ritmenya dan memasukkannya ke dalam kepalaku secara sangat perlahan. Tidak terlalu terburu-buru (meskipun aku adalah orang yang jauh dari kata tenang) seperti yang pernah, dan saat ini aku lakukan. Aku tidak ingin dikejar oleh tugas akhir, oleh pertanyaan-pertanyaan menikah, oleh pertanyaan-pertanyaan setelah S2 mau apa (yang bahkan dilontarkan oleh orang terdekatku sendiri dan itu sungguh menyebalkan)
            Kadang di suatu sore aku terbangun. Memandangi tembok merah jambu kamar kosanku yang sempit, sembari memikirkan tentang masa depan. Uh! Kepalaku buntu. Maksudku, aku ketakutan ketika pulang dan orang tuaku menyuruhku menikah dengan tameng, mereka sudah akan pensiun dan ingin melihat orang yang menjagaku sampai mati itu datang sebelum mereka selesai bekerja. Beh. Suatu tuntutan mengerikan dari hasil budaya masyarakat kita. Terlebih di daerahku, yang sayangnya, pada taraf tertentu orang tuaku dan bahkan semua orang (atau tepatnya tetua dan itu menurun) menganut itu. Bahwa anak gadis usia 25 tahun jika belum menikah akan dikatakan sebagai anak gadis tidak laku.
            Ketika ditanya oleh orang, ingin jadi apa aku setelah S2? Mau ke mana aku? dan mengadopsi pernyataan mamaku yang bilang, kalau lulus nanti, belum bekerja, kamu menikah saja dulu. Setidaknya orang bilang kamu sudah menikah jadi belum sempat cari kerja. Tiba-tiba aku merasa menjadi seseorang yang.. Oh, segitu bodohnyakah aku sampai tidak bisa mendapatkan pekerjaan satu pun bahkan ketika gelar S2 sudah kudapatkan? Sebodoh itukah sampai aku harus membayarnya dengan pernikahan yang tidak pernah kuinginkan itu?
            Sebenarnya ketika aku mau idealis dan melenceng jauh dari apa yang kulakukan saat ini, ingin sekali rasanya aku bekerja di sebuah yayasan atau apalah namanya itu yang bergerak untuk mengobati orang-orang disabilitas mental. Merawat dan ketika sembuh mengantarkannya pulang, sambil sesekali mengirimkan tulisan yang bisa dimuat oleh media dan dibaca oleh orang-orang yang barangkali tertarik. Tapi pekerjaan itu, tidak akan menghasilkan uang banyak. Tidak akan bisa membuat uangku cukup membeli krim dokter yang sebulannya 350 ribu. Tidak akan bisa menanggung kuota internetku yang 75 ribu perbulan. Tidak akan bisa membeli Natripku yang 130 satu tempat. Tidak akan bisa mengongkosi jalan-jalanku, biaya kosan, dan cemilan-cemilanku. Tidak akan bisa mencukupi itu semua, tapi kurasa, dengan segala keterbatasan itu, akan ada bahagia yang kudapatkan. Bahagia bukan melulu persoalan berisinya ATM bukan?
            Jadi mengapa ketika ditanya persoalan menikah sama semua orang terdekatku, aku masih selalu saja mengacuhkan mereka? Karena ya memang tidak pernah terpikir olehku untuk seperti itu. Biarlah kakakku yang sebentar lagi menikah itu, yang akan memberikan bayi-bayi lucu untuk orang tuaku. Menjadikan mereka kakek dan nenek dan menghadiahiku gelar baru sebagai tante. Aku rasa ketika kakakku sudah memenuhi kewajibannya beranak-pinak seperti manusia kebanyakan, tugasku sudah selesai untuk memberikan hal yang sama pada kedua orang tuaku. Tapi ternyata tidak pernah sesederhana itu.
            Aku menjadi curiga. Hidup ini menurut anggapan banyak orang adalah sebuah keteraturan yang ketika dilanggar akan memberikan sebuah hukuman bagi kita. Ketika disentil sedikit akan diteriaki antek PKI, kaum liberal, atau pada taraf yang lebih ekstrim, sebagai orang yang tidak punya agama. Semua orang berubah menjadi sosok bijak yang sibuk mempertanyakan sedalam apa agama yang kita anut selama ini. Sedalam apa kita mengenal Tuhan. Semelenceng apa ilmu yang kita dapatkan hingga membuat kita bisa memiliki cara pandang sedemikian rupa dalam melihat sebuah fenomena. Pfth.
            Tidak pernah terpikir olehku bagaimana kemudian aku menikah, bagaimana kemudian aku terpisah dari orang tuaku, bagaimana ketika aku hamil, bagaimana dengan pekerjaanku, bagaimana dengan anak-anakku, dan sialnya bagaimana cara mengurus suamiku agar betah denganku dan tidak direbut wanita lain. Meh! Membayangkannya saja aku menjadi mual. Bagaimana ya itu menjelaskannya, ya pokoknya seperti itu. Kalaupun suatu hari aku menikah, aku ingin orang yang membuatku yakin untuk tumbuh tua bersamanya, adalah orang yang paham kerasku seperti apa. Orang yang mendengarkanku bercerita random dan menanggapinya dengan tidak melulu bilang iya, hahaha, atau kata-kata lain sebagai basa-basi belaka. Orang yang menyeimbangiku dalam semua hal, orang yang ketika hari libur tiba, kuhabiskan waktuku bersamanya membahas buku-buku baru yang sedang atau sudah kita baca. Orang yang tidak mendengarkan kata tetangga dan manusia-manusia tukang komentar lainnya. Orang yang tidak memperlakukanku sebagai budak dengan menyuruh kanan kiri dengan dalih itu tanggung jawabku sebagai seorang istri. Orang yang tidak membentukku dan mengubahku menjadi boneka yang dia senangi. Tapi orang seperti itu juga tidak akan pernah ada di bumi ini.
        Seperti itulah kira-kira yang bisa kutuliskan. Hanya mengeluarkan isi kepala yang bosan membatu dengan perihal itu melulu. Aku percaya, meskipun tidak selalu menyelamatkan, menulis bisa menjadi terapi menyenangkan saat tidak ada lagi orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah, atau saat keluh kesah hanya akan berakhir di teks Whatsapp atau dering telepon pada seseorang yang jauh. Jangan mencari pencerahan dari sini. Kamu tidak akan mendapatkannya. Selamat pagi dan oh ya, sesekali berhentilah berpura-pura, dirimu juga butuh yang namanya bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman