Cak Nedi dan Hidup yang Biasa-Biasa Saja

Memangnya kenapa hidup harus luar biasa sekali seperti tampilan foto-foto kesuksesan orang di media sosial?

           Sebenarnya aku tidak tahu harus membicarakan apa soal sosok Cak Nedi. Orangnya tidak terlalu banyak bicara. Aku mengenalnya hanya dari obrolan singkat seputar uang kembalian saja. Selebihnya kami diam, dia asik mengipasi satenya dan aku sibuk menghabiskan sate andalanku. Semalam aku mendapat kabar Cak Nedi sudah tidak ada dari anak perempuannya. Pertanyaan yang malas sekali kuutarakan karena takut mendapat kabar buruk seperti ini. Kematian benar-benar menyebalkan.

            Meskipun aku tidak memiliki keterikatan istimewa dengan makanan bernama sate, tapi dirantau, ingin sekali aku rasanya menikmati makanan-makanan yang sesuai dengan lidah Bugisku. Tidak bergula, manis secukupnya, sambel yang pedas. Makanan-makanan yang seperti itu cukup sulit kutemukan di Yogyakarta, makanya aku lebih memilih memasak sendiri di kosan. Tapi ini bukan cerita tentangku, melainkan tentang Cak Nedi, bapak penjual sate andalanku di Jakal.

            Aku tidak tahu Cak Nedi sejak kapan berjualan di samping Apotek K24 Jakal. Setahuku, dia sudah punya banyak langganan yang rela datang langsung karena Cak Nedi tidak memasukkan warungnya ke aplikasi makanan siap antar. Saking ramainya, Cak Nedi yang biasa berjualan sendirian kadang keteteran. Saat makan di sana, pemandangan piring bekas orang di atas meja yang belum dibawa ke belakang tenda untuk dicuci selalu menghiasi warung Cak Nedi. Biasanya jika sudah seperti itu aku membawakannya ke belakang. Cak Nedi tidak menyadari itu karena dia asyik membakar sate. Ya, Cak Nedi itu memang idealis sekali. Dia tidak suka memberikan sate yang sudah dingin kepada orang-orang, jadi tiap ada yang pesan akan dibakarkannya lagi meskipun sate itu sebenarnya sudah dibakar sejak tadi.

            Aroma asap sate beserta abu-abunya menjadi hal biasa di warung Cak Nedi. Makanya kadang aku bingung kenapa dia tidak menaruh pembakarannya di sisi kanan meja, biar abunya tidak mengenai orang yang sedang makan. Tapi mungkin itulah gaya berjualan sate ala Cak Nedi, kau makan satenya, kau nikmati juga asapnya. Cak Nedi akan menghilang saat pelanggannya sudah banyak. Sebab dia harus ke belakang tenda untuk mencuci piring dan gelas, sementara satenya sudah bertengger di pembakaran. Jika sedang tidak ramai, Cak Nedi akan dengan santai merokok depan pembakarannya sambil terus mengipasi sate. Ingat ya, Cak Nedi adalah old school dan jika suka kau bisa menyebut Cak Nedi sebagai seorang luddite, orang-orang yang tidak suka dengan teknologi.

            Tapi memang benar, Cak Nedi tidak pernah memainkan ponsel di warung. Aku bahkan sangsi dia punya ponsel pintar seperti orang-orang hari ini. Dia tidak suka membakar satenya dengan kipas angin. Maka dia tetap memilih mengipasnya sendiri, walau kadang kulihat matanya berair karena asap. Selain tidak ada kipas angin dan ponsel pintar, Cak Nedi juga tidak menyediakan es di warungnya. Dia mungkin saja berkomitmen untuk memberi air hangat kepada semua pelanggannya sehabis makan (karena itu lebih sehat) dibanding menyediakannya es untuk dibuat es teh. Jangan salah, meski tak ada menu es teh, Cak Nedi akan memberikanmu potongan bawang merah segar dan sambel yang mantap. Tentu ini sesuai dengan permintaan.

            Cak Nedi sudah menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja. Tidak perlu terlalu istimewa, toh hidup ya begini-begini saja. Sekarang Cak Nedi sudah beristirahat dengan tenang entah di mana. Hari ini tepat 41 hari kematiannya. Aku tidak suka menggunakan kata “pergi”, karena Cak Nedi, bapak-bapak penjual sate yang pendiam itu tidak akan pernah pergi dari ingatanku. Menurut penjelasan anaknya, Cak Nedi memang setahun belakangan ini menderita penyakit Liver, ada yang bermasalah di hatinya, di mana aku dan mungkin saja pelanggan Cak Nedi akan sepkat bahwa itu bisa terjadi karena Cak Nedi sangat pekerja keras dan lupa beristirahat. Tiada hari tanpa berjualan, itulah Cak Nedi.

            Sekarang warung sate Cak Nedi dilanjutkan oleh seorang lelaki dan perempuan. Mereka ini anaknya Cak Nedi. Tapi tentu setelah tidak dipegang oleh Cak Nedi lagi, warung satenya mengalami beberapa perubahan. Lelaki itu memasang kipas kecil, jadi dia tidak lagi mengipasi satenya. Bawang merahnya pun kini sudah disediakan, tidak harus dikupas lagi saat ada yang minta. Tempat sambelnya pun lebih besar dari sebelumnya. Kalau soal piring di atas meja, tentu semua sudah hilang karena anak perempuan Cak Nedi sangat rajin mencucinya di belakang tenda.

Apapun itu, semoga perjalanan Cak Nedi dipermudah menuju tempat yang terbaik.

Dada, Cak Nedi. Sampai jumpa di lain waktu.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman