Kepadamu, Samar yang Beranjak Hilang.

Padahal awalnya aku mulai membiasakan diri untuk percaya, bahwa ini semua akan baik saja.

Namun hingga hari kesekian kau tak berkabar, aku mulai merasa ini sudah tidaklah benar.
Entah sedang apa kau ketika ini selesai ku tuliskan.
Entah kepala siapa yang sedang bersandar pada bahu tegapmu yang dulu adalah punyaku.

Adalah kau, samar yang kini hilang. Atau bahkan beranjak hilang.
Terbang menuju medan yang bahkan lebih dari perang
Coba beritahu aku, perempuan mana yang sanggup memenangkanmu selain ku?
Beritahu aku, mantra seperti apa yang membuat matamu menjadi tiba-tiba beku dan kemudian buta.

Berhentilah berlari.
Sebab aku mulai lelah untuk mengikuti.
Berhari-hari kau menjelma menjadi apa yang tak lagi ku kenal.
Berbulan-bulan kau tak gentar memahat luka, meski kau bahkan tahu dada kiriku mulai sakit dibuatnya.

Bagaimana sore di kotamu?
Sesekali terkadang aku ingin menjadi daun yang rela gugur demi melihatmu bahagia.
Menjadi pencarimu dari titik bintang hingga lipatan bulan yang benderang.
Sungguh. Kau sepantasnya bahagia. Aku pun.

Tuhan barangkali menakdirkan kita untuk bisa berdamai atas bahagia dan beberapa derita.
Memungkinkan kita untuk duduk berdampingan pada beranda tua yang sedikit berdebu.
Kau dengan kopimu, dan aku dengan tehku.
Menatap langit memerah meski dalam hati sedang berdarah-darah. 

Kaulah kenang yang sampai kini masih lengkap dengan potret yang menggenang.
Dari dalam kepala dan beberapa kotak dalam otak.
Mungkin saja kau sengaja menjadikan dirimu satu yang utuh.
Hingga sesekali dapat ku jenguk meski dengan tangan yang tak lagi bisa kusentuh.



0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman