Gugur Di Kotamu


            Perkenalkan. Namaku Rinai. Perempuan yang beberapa musim berada jauh di kota orang, yaitu Osaka. Semua itu bukanlah karena aku orang kaya raya yang memiliki banyak uang. Tetapi karena pemerintah sepertinya menghargai pengetahuanku, maka setahun yang lalu aku dikirim mereka kesini untuk belajar dengan baik, dan pulang untuk membangun negeri.
            Ada banyak hal yang ku tinggalkan semenjak memutuskan hijrah ke tanah Jepang. Termasuk lelaki itu. Namanya Uta. Lelaki bermata cokelat terang dengan bentuk wajah yang tak pernah kutemukan pada lelaki lainnya di luar sana. Dia adalah orang pertama yang memperdengarkanku lagu-lagu Jepang. Membuatku ikut jatuh cinta dengan musim semi dan gugurnya. Menceritakan betapa indah senja yang jatuh saat musim gugur tiba. Sehingga aku tak sadar, aku turut jatuh cinta dengannya. Sekali lagi.
            Kami bersama semenjak aku masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, dan dia adalah kakak kelasku. Hingga dengan menatapnya saja, aku sudah merasa sangat penuh. Tanpa ia tahu, bahwa semenjak itu aku mulai mencintainya dengan sangat. Tak pernah ada keberanian lebih yang diberikan Tuhan padaku untuk berterusterang padanya. Dan pada suatu hari, aku mendapatkan informasi bahwa aku akan melanjutkan sekolah menengahku kesana. Uta adalah orang yang pertama kali kuberitahu tentang hal ini.
            “Uta. Aku akan ke Osaka. Aku akan ke Jepang minggu ini.”
            “Oh ya? Ah, Rinai. Kau memang berbakat!” Ku tatap matanya, berbinar sempurna.
            “Terima kasih. Kau tak mau ikut? Menemaniku?”
            “Tentu saja aku mau. Tapi tak akan pernah bisa. Sepertinya begitu.”
            “Kenapa? Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa senja di musim gugur itu sangatlah cantik? Pernah suatu hari kau menjanjikanku untuk menikmati senja itu bersamamu.”
            “Aku tahu. Aku bahkan selalu ingat dengan semua janjiku, Rinai. Aku ingat. Dan aku akan menunggumu pulang. Aku benci melihat senja dari tempat orang-orang asing berkeliaran. Aku akan memperlihatkan senja itu disini. Ku harap kau segera pulang. Apapun yang terjadi. Kau berharga.”
            Ku ingat saat mengatakan itu, Uta memandangku dengan tatapan yang sulit ku bedakan, apakah dia berbinar atau sedang bersusah payah menahan tangis.
            Namun inilah kami saat ini. Duduk di tengah kerumunan orang. Menikmati senja berbinar dari musim gugur yang hampir usai. Memegang segelas teh, dan saling mengaitkan lengan satu sama lain.      Sungguh, saat ini semua terjadi. Aku begitu ingin memohon belas kasih Tuhan. Sekali saja. Biarkan Uta menatap senja yang serupa juga. Meski aku dengan jelas melihat, Uta berbahagia. Dengan cara yang tidak dapat ku ketahui. Ia menikmati senja, dengan keadaan yang buta. Uta buta. Dan aku mencintainya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

keren...

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman