Beda yang Sama

Terkadang tiap malam aku tak pernah berhenti berpikir; apakah sesekali kau dapat membantuku untuk bertanya pada Tuhanmu, bahwa dapatkah aku yang bukan hamba-Nya mencintaimu, hamba-Nya? Karena ini sudah terlalu jauh, sudah terlalu dalam. Aku rasa Tuhan bisa jadi orang ketiga untuk memisahkan.
            
               Entah dari mana semua ini bermula. Aku juga terkadang bingung dibuatnya. Namun selalu saja aku percaya, bahwa segala sesuatu yang sama suatu saat akan menjadi beda, begitupun sebaliknya. Tetapi setelah bertemu denganmu, aku bahkan percaya bahwa jumlah bintang di langit benar 4960, bahwa semesta selalu mendukung dengan caranya yang tak pernah bisa diduga, bahwa kau dengan anggun melenggang masuk dalam duniaku yang telah ku kunci rapat untuk siapapun itu.

            Aku Alin, perempuan yang senang sekali membuat tembok pembatas yang tinggi ketika orang-orang bahkan hanya mencoba mengintip. Tak akan ada satu orang pun yang akan berhasil menembus tembok itu. Sebab dibaliknya aku sudah menyiapkan segala yang membunuh sehingga tak akan ada yang berani memanjatnya untuk sampai kesini. Untuk sampai ke dalam hati. Tidak ada. Setidaknya selain kamu.

            Semua ini bermula ketika kau dengan segalamu yang membuat takjub itu mulai sering  bermunculan di depan mataku. Mulai sering berpapasan yang barangkali tidak akan pernah kamu ingat (namun aku sungguh menghitungnya). Hingga suatu malam setelah berpikir panjang dan menghela napas sebanyak-banyaknya, aku mulai memutuskan untuk berbicara denganmu. Tak ada satu pun mimpiku untuk menjadi lebih denganmu. Bagaimana pun aku harus tahu diri. Maka menurutku ajak bicara saja dulu, apa yang akan terjadi terserah nanti; terserah hati. Lagi-lagi.

            Maka pada suatu malam yang mendung, pada lorong-lorong gelap yang sepi..

            “Halo, aku Alin. Kamu kenal kan? Aku yang selama belakangan ini mengganggumu di segala media sosialmu, hehe”
            “Oh, ya. Saya tau kamu. Halo. Ada apa?”
       “Jadi seperti ini, teman-temanku akan mengadakan acara. Apa kamu tidak mau ikut berpartisipasi atau menyumbangkan sedikit suaramu?”
            “Boleh. Kapan?”
            “Belum ada jadwal pasti, nanti aku kabari ya. Pesanku dibalas makanya.”
            “Oh hehe ya nanti saya balas. Terima kasih.”
            “Aku yang harusnya terima kasih. Sudah ya, daaa”
            “Ya, daa”

            Perbincangan singkat malam itu cukup jadi alasan, mengapa sampai saat ini aku masih terus berjuang untuk mengenalnya lebih jauh. Selain itu, sejak dia mengawang di kepalaku aku mulai sering sekali merasakan kupu-kupu yang berterbangan dalam perut ketika seseorang sering menyebutkan namanya.

            Esoknya, ketika senja mulai nampak merah aku dan Aya berbincang mengenai hal ini.

            “Aku tidak tahan lagi. Aku lelah, Ya.”
            “Hanya segitu saja? Ayolah, Lin. Kau harus membuat dia bertanggung jawab untuk apa yang ia lakukan padamu. Masuk seenaknya saja tanpa berusaha untuk keluar darisitu atau paling tidak membuat tempat nyamannya sendiri dalam hatimu. Tapi menurutku dia hebat. Dia bahkan tak pernah berusaha sekeras apapun itu untuk menghancurkan tembokmu. Luar biasa.”
            “Ini semua salahku. Ini semua salah kupu-kupu itu. Ini semua salah mata dan bintang berkedip di dalamnya. Tapi kenapa harus dia? Aku takut, Ya. Aku takut suatu saat aku lelah dan menyerah kalah. Padahal sudah terlalu banyak aku melanggar dalam kasus jatuh cinta ini.”
            “Menurutku kau harus berbicara dengannya. Hanya itu satu-satunya jalan agar kau bisa kembali lega dan tersenyum ceria. Ya, menurutku hanya itu.”
            “Baiklah, besok aku akan berusaha meminta waktunya. Menyelipkan pertemuan kami pada waktunya yang cukup sibuk”

            Maka setelah berbicara panjang lebar dengan Aya, aku mulai menghubungi orang itu lagi; menghubungi orang yang selalu sukses membuat kupu-kupu dalam perutku ini berisik. Dan berhasil. Dia menyempatkan untuk bertemu. Pada suatu malam yang penuh bintang, pada halte depan fakultas. Dia mengenakan pakaian hitam dan aku mengenakan segala yang berbau kembang-kembang.

            “Hai, maaf aku memintamu untuk ke sini.”
            “Ah, tak apa. Mau bicara apa? Bukannya kemarin sudah?”
            “Mm..” Aku kemudian terisak. Sungguh dadaku seperti penuh dengan air yang hendak keluar dan tak dapat aku tolak lagi.
            “Kenapa kamu menangis? Apa yang salah?”
            “Tidak ada yang salah. Aku yang salah. Ya, aku.”
            “Kamu kenapa?”
            “Aku salah karena membiarkanmu masuk. Aku salah karena melanggar tembok tinggi yang ku buat sendiri. Aku salah karena telah jatuh cinta padamu.” Setelah mengatakan itu, aku sedikit merasakan lega. Aku mendengarkan dia menghembuskan napas panjang-panjang.
            “Kenapa kamu bisa jatuh cinta sama saya? Kita bahkan baru saja berkenalan.”
            “Hey! Kalau saja otakku bisa mengatur hati. Kalau saja aku bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Kalau saja kita tak begitu banyak beda. Tapi aku bahkan tidak bisa melakukan itu. Kau tahu, bukan? Aku tidak bisa. Aku.. Aku terlalu lemah untuk persoalan ini.”
            “Kita beda? Apanya?”
            “Sudahlah, kau tak perlu berpura-pura lagi. Dalam keyakinan pun kita sudah berbeda. Aku bersujud dan kau duduk melipat tangan. Kau lebih muda dan aku setahun lebih tua. Tapi dari segala beda itu, aku menyadari ada satu kesamaan yang paling menyakitkan. Kau tahu apa? Karena kau juga perempuan, Rai! Aku tak akan pernah baik-baik saja mulai malam ini.”

            Aku kembali terisak. Kutatap wajahnya sekali lagi. Dia memelukku. Malam ini begitu banyak bintang, dia menghitungnya dan jumlahnya tetap 4960.

            

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman