Bianglala dan Pesan Cinta dari Surga (Kami, Bianglala, dan Bintang)

Pagi selalu saja nampak bersahaja ketika ku lenggangkan kaki dengan sempurna saat berjalan menuju sekolah. Semalam, aku memimpikannya lagi. Perempuan dengan jilbab yang selalu rapi saat bertemu denganku. Dia adalah perempuan yang sudah sedari dulu ingin ku ajak bicara. Hingga mungkin suatu saat, aku dapat menjadi sebab dia lupa waktu untuk pulang. Aku, Lindan. Dan perempuan itu bernama Lee. Demi apapun, aku bersumpah bahwa dia bukanlah keturunan cina seperti kedengarannya. Dia adalah perempuan manis yang selalu rajin memberi senyum kepada siapa saja ketika tiba hari kamis. Entahlah. Seperti ada yang menarik sekali dari hari kamis itu. Setahuku, hari kamis adalah hari yang menjemukan. Berhubung hari itu kelas penuh, dan guru-gurunya akan masuk memberi tugas yang tidak sedikit.
            Suatu hari, aku bertemu dengan Lee. Dia sedang duduk sendiri di depan perpustakaan. Hari itu bukan hari kamis. Dan aku tidak tahu, apakah dia akan tetap tersenyum atau tidak. Namun ku beranikan diri saja menghampirinya. Barangkali dia sedang ingin berbagi, aku selalu mengusahakan diriku untuk menjadi orang pertamanya. Aku mulai berjalan terbata mendekatinya. Meskipun aku sadar betul saat ini sedang memegang alat lukis Rio, untuk dibawakan ke kelasnya. Namun aku tidak peduli. Tak apa aku memutar arah, demi bertegur sapa dengan gadis yang selalu ku puja.
            “Selamat siang, Lee. Sedang apa di sini?”
            Dia berbalik dan tersenyum tipis. “Halo, Lindan. Sedang duduk.”
            Matilah aku. Dia hanya menjawab sekadarnya saja. Tanpa berusaha bertanya balik mengapa aku juga ada di sini, dan apa hubungannya aku dengan alat lukis ini. Tapi aku tak putus asa, demi masa depan dan cinta yang luar biasa aku kembali bertanya.
            “Kamu sedang tak ada guru ya? Maaf, aku banyak bertanya. Semoga kamu tidak ketakutan” Aku sedikit tertawa mendengarkan kalimat yang ku katakan barusan.
            “Hahaha, kenapa harus ketakutan? Kamu kan tidak membawa senjata tajam.”
            Tuhanku. Maha besar Engkau. Dia tersenyum. Menampilkan deretan gigi putihnya yang teratur serta lesung pipi yang sempurna.
            “Oh tentu saja tidak. Aku cuma membawa alat lukis ini. Punya Rio. Mau ku bawakan ke kelasnya.”
            “Kelas Rio bukannya ada di ujung sana? Lantas,  kenapa kamu lewat sini?”
            Harus ku jawab apa pertanyaan perempuan ini, Tuhan? Oh, apakah ini saat yang benar-benar tepat untuk menyadarkannya bahwa selama ini aku cinta?
            “Ehem. Pertanyaanmu banyak sekali, Lee. Aku bisa duduk dulu? Di sampingmu, mungkin?”
            “Oh maafkan aku. Bisa. Duduk saja dimana pun kau mau. Asal turunkan dulu alat lukis itu. Sepertinya berat.”
            “Ya, seperti yang kau lihat. Hehe. Lee, aku mau memberitahumu sesuatu. Entah setelah mendengar ini kau masih mau mengenalku atau tidak. Setidaknya aku sudah pernah berjuang untuk memberitahumu.”
            “Aku sudah tahu kau mau bilang apa.”
            “Apa?” Aku melongo bodoh. Wajahku merah padam seketika.
            “Kau menyukaiku, bukan?” Dia berbalik. Menatapku. Menelanjangi tiap inci retinaku seolah memaksa berkata bahwa apa yang ia katakan adalah benar.
            “Bahkan lebih dari itu. Aku mencintaimu. Aku adalah lelaki yang selalu membawakanmu bianglala ukuran mini di laci mejamu. Aku adalah lelaki yang tidak pernah absen melingkarkan tanggal merah di kalender tiap kau senyum padaku. Aku adalah lelaki yang sering mengirimimu pesan dan bertanya apa saja agar kau tertarik. Maafkan aku, Lee. Aku tidak tahu aku sedang merasakan apa. Tapi aku tahu, aku mencintaimu.”
            “Aku juga.” Dia mengatakan itu dengan tatapan lurus. Sedikit bening pada bola matanya yang berwarna cokelat sempurna.
            “Tapi selama ini aku tidak berani mendekatimu. Sebab aku tahu, kau sudah punya seseorang. Dan aku kenal orangnya.”
            “Tidak lagi. Setelah hari itu, aku mulai rajin menangkap radar. Hingga aku sadar, kita sama-sama sedang jatuh cinta. Satu sama lain, Lindan.”
            Bumi, ku rasa aku akan meledak sebentar lagi. Mataku serasa dipenuhi kembang  berwarna merah jambu. Dia ternyata peka dan meraskaannya juga. Kini, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi kami akhirnya bisa bertepuk bersama.
            “Jadi, apakah kau mau menjadi kekasihku, Lee?
            “Mau. Dan kau, Lindan. Maukah kau mencintaiku dengan baik?”
            “Dengan sepenuh hatiku, Lee. Aku berjanji.”
            Aku mengatakan itu. Matahari terbenam. Dan sekolah sebentar lagi gelap. Segera ku bereskan alat lukis Rio. Dan ku ajak Lee untuk pulang.
            Jarak sekolah dengan rumah Lee memang tidak terlalu jauh. Maka dari itu, Lee memutuskan untuk berjalan kaki saja bersamaku. Dia bilang agar apapun yang kami lewati bisa menjadi oleh-oleh untuk dia suatu saat. Aku tidak mengerti dia sedang berbicara apa. Sungguh. Tapi setahun kemudian, aku paham. Aku benar-benar paham.
            Pagi itu cemerlang. Serupa bola mata Lee saat pertama kali mengatakan dia juga mencintaiku. Dengan langkah pasti dan meyakinkan, aku berjalan menuju rumah Lee. Tidak lupa aku membawa bianglala mini yang keseribu untuk merayakan setahun hubungan kami. Aku mengetahui Lee begitu menyukai bianglala, sebab rumahku dekat dengan pasar malam. Dan Lee adalah orang yang tidak pernah absen menaiki bianglala setiap malam. Aku mengamatinya dari jauh. Rasanya saat itu aku ingin sekali berada di sampingnya. Tertawa dan menunjukkan bintang paling benderang dari atas bianglala yang kerlap kerlip itu. Tapi urung, sebab aku yakin Lee pasti tidak mengijinkanku untuk menemaninya.
            Lamunanku buyar setelah seorang perempuan paruh baya keluar dengan kondisi kantung mata menghitam. Dengan tergesa-gesa, dia membuka pagar dan menatapku lurus.
            “Selamat pagi, bu. Saya Lindan.”      
            “Pagi, Lindan. Mau ketemu Lee?”
            “Iya, bu. Lee ada?”
            “Mari, ibu antar.”
            Aku masuk dan ibu menutup pagar dengan rapat. Kami langsung berjalan menuju kamar Lee yang dari luar kelihatan sempit. Lee melihatku. Dia berbalik dan tersenyum. Manis sekali. Meski ini bukanlah hari kamis.
            “Selamat pagi, kekasih.” Ucapku sambil tersenyum penuh.
            “Selamat pagi juga, pria tampan.” Wajahnya tersipu. Selalu saja Lee seperti itu saat sedang memujiku.
            “Jadi, kemana kita akan berjalan-jalan pagi ini?”
            “Kemana pun kau mau, tuan.” Dia sedikit menunduk. Batinku tertawa. Bahagia.
            “Baiklah. Agenda pertama. Kita harus ke taman depan, lalu kita bisa menikmati makan siang di sebuah lesehan yang tidak jauh dari sini, lalu kita bisa..”
            “Bawa aku kemana pun kau mau.” Dia mulai menarik ujung jariku.
            “Bu, kami pergi dulu. Saya janji memulangkan Lee sebelum tengah malam tiba.”
            Ibunya hanya memandangi kami, pada kerutan di wajahnya  aku melihat titik-titik kelelahan. Jelas sekali.
            Kami menjalani hari sesuai dengan agenda yang telah kami persiapkan sebelumnya. Malam pun tiba. Dan pasar malam dekat rumahku sudah buka. Lee segera menatapku, menunggu aku mengajaknya untuk menaiki bianglala. Aku tentu tidak menolaknya. Setahun kami berpacaran, sudah ada selusin bahkan lebih bintang yang kami berikan nama. Lee selalu membuat nama yang aneh. Bintang pertama dia namakan Paman Sam, kemudian Bibi Chi, dan yang terakhir ku ingat bernama Adik Surga. Selain cantik, Lee juga terkesan aneh.
            Malam ini, Lee tidak banyak berbicara. Dia hanya menatap bintang, menggenggamku, dan kemudian terdiam. Ku rasa Lee lelah. Dan aku memilih mengantarnya pulang setelah menaiki bianglala ini.
            Semua terasa berlangsung sangat cepat. Aku mengerti, ada beberapa hal yang tidak bisa ku paksakan dari hidup. Termasuk bersama Lee. Aku menyerah, dan memilih mengikhlaskan apapun itu. Malam itu, aku mendapatkan pesan cinta dari Lee yang ia masukkan dalam saku belakangku. Aku masih ingat bunyinya dalam, menyakitkan, membunuhku.
            Lindanku yang tampan. Terima kasih sudah memberanikan dirimu untuk mengutarakan kau mencintaiku dengan sangat. Bersamamu, aku merasakan dadaku penuh dengan cinta yang membuncah. Setahun denganmu sudah mengajarkanku banyak hal. Setidaknya kita pernah memberikan bintang-bintang itu nama.
            Lindan. Terima kasih pula karena kau sudah menemaniku menaiki bianglala untuk yang kesekian kalinya. Oh ya, kau amat tampan ketika memakai kemeja putih. Ketahuilah, dimana pun aku, aku tetap milikmu.
            Dari yang rajin mencintaimu,
Lee.


            Rasanya selalu saja miris. Namun dari awal aku sudah mempersiapkan tabahku dengan sebaik mungkin, hingga hari ini tiba. Ibu dan aku tahu, Lee tak akan lama. Dengan membawakannya oleh-oleh bianglala ukuran mini, aku mulai menempelkan pipiku pada nisannya yang selalu dingin. Lee pergi, dan aku adalah lelaki yang teramat sedih.



Majalah HAI minggu ini, halaman 076, 27 Oktober 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman