Perkara Sayur dari Dapur
Pagi
dengan anggun menyambutku ketika mulai kembali bersekolah dengan seragam
berwarna kusam. Setelah beberapa tahun perkelahian ayah dan ibu, tak pernah
lagi mereka menyentuh kulitku dengan lemah lembut seperti apa yang biasa mereka
lakukan di tahun tahun sebelum ini. Aku dibuatnya teramat sangat kecewa. Maka
ku putuskan untuk berangkat sekolah tanpa memberitahu ibu dan ayah yang tidak
pernah beranjak dari tempat mereka setelah hari itu.
Namaku,
Bila. Salsabila lebih tepatnya. Namun aku tidak menyukai nama yang terlalu
kekanakan itu. Makanya aku lebih senang jika dipanggil Bila. Sedikit aneh dan
misterius menurutku. Hari ini, sekolahku nampak seperti biasanya. Lengang dan
sunyi rajin sekali menyapa saat pertama kali menginjakkan kaki memasuki
gerbangnya. Aku berlalu begitu saja menuju kelas. Tanpa berusaha peduli dengan
orang orang yang sedari tadi menatapku nanar dari sisi kanan dan kiri.
Entahlah, apa yang menurut mereka aneh denganku. Padahal aku seperti hari-hari
biasanya. Nampak muda dan menggairahkan meski dengan pakaian yang kusam dan tak
lagi sedap dipandang mata. Maka ku rasa aku akan gila seketika, jika harus
memperhatikan dan menanggapi tatapan menghina yang keluar dari biji mata mereka
yang buruk dan ku harap segera membusuk itu.
Bel
sekolah pun berbunyi. Seperti biasa pula, aku dibangunkan oleh Rika. Sejak guru
mata pelajaran Matematika diganti, aku mulai benci menghitung bilangan ganjil
genap itu. Maka dari itu ku putuskan untuk tidur saja di kursi belakang.
Sepulang dari sekolah, aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Ku dapati
ibu di dapur tengah memegang pisau dengan kepala yang tepat berada di atas
meja. Ku pikir ibu ketiduran saat sedang memasak sayur. Meskipun tak dapat ku
pungkiri, pisau yang dipegang ibu mulai karatan dan sayuran di sekelilingnya membusuk dan mulai
melahirkan ulatnya satu-satu. Aku merasa jijik. Dan dengan perasaan yang tetap
seperti tadi, aku menemui ayah yang berada di ruang keluarga dengan kepala yang
bersandar pada kursi rotannya. Dengan remote tetap di tangan dan mata yang
menatap jauh ke dalam televisi tua itu. Aku tak ingin mengganggunya. Belakangan
ini mereka berdua memang aneh. Tak pernah lagi menyapaku ketika pulang dari
sekolah. Tak pernah lagi ada makan siang dan candaan yang luar biasa lucu
terlontar dari mulut ayah yang mulai nampak hitam. Tak ada apa apa. Dan aku memutuskan
untuk tidak terlalu peduli dengan itu. Aku pun langsung memasuki kamar dan berganti
pakaian kemudian tidur sejenak.
Sore
itu, senja semerah tembaga yang berkilat kilat di langit. Aku terbangun ketika
suara ketukan keras membuat gendang telingaku seraya ingin pecah dibuatnya. Aku
sedang bersiap-siap memaki siapa pun itu yang berani membangunkanku. Namun
urung ku lakukan. Ternyata yang datang adalah tanteku. Adik kandung dari ibu.
Ia tersenyum dan aku membukakannya pintu.
“Silakan
duduk, tante. Duduk disini saja. Jangan terlalu berisik. Ayahku sedang menonton
acara TV kesukaannya. Dia tidak senang jika diganggu.” Ucapku sembari
membereskan kursi yang mulai nampak berdebu itu.
“Iya,
Bil. Terima kasih. Mana ibumu? Sudahkah hari ini ia memasakkan sayur buatmu?”
Tanya tante dengan mata yang ku lihat sedikit rintik.
“Oh,
ibu. Ya, ibu ada di dalam. Seperti biasa ia selalu menyiapkan aku sayur. Namun
seperti biasa pula, aku bingung tante. Kenapa sayur ibu tak pernah matang. Apa
ibu sedang sakit atau mungkin jarinya teriris oleh pisau berkarat yang masih
dipegangnya?”
“Bisa
tante lihat, ibumu?”
“Bisa.
Ibu ada di dapur. Mari, Bila antar.”
“Baiklah,
Bila.”
Kami
berdua lalu berjalan menyusuri ruang tengah dan ruang ruang lain dalam rumah
tua itu. Tante menatap ibu yang sepertinya masih tertidur. Lalu ia pergi dan
kembali ke tempat duduknya.
“Bila,
sampai kapan kau harus seperti ini nak? Tidak kah kau mau ikut dengan tante?
Tante bisa memasakkanmu sayur yang bahkan jauh lebih enak dari ibumu. Dan tentu
saja kau akan tante beri sayuran yang tak memuakkan dan berulat seperti itu.”
Teriak tante dengan nada sedikit gusar dan air mata yang tak pernah berhenti
mengalir dari mata bulatnya yang terang benderang.
“Aku
tidak mau. Sayur masakan ibu tetaplah lebih enak buatku. Dan aku tidak akan
pernah mau menggantinya dengan sayur apapun. Termasuk masakan tante. Jadi jangan harap. Lagi pula, ayahku
juga suka memakan sayur buatan ibu.”
“Oh,
Bilaku sayang. Sampai kapan kau akan menyekap ibu dan ayahmu yang sudah
membusuk itu? Sadarlah nak. Mereka sudah mati. Bahkan sudah menjadi tengkorak.
Serahkanlah dirimu nak. Tante mohon. Tante selalu sayang padamu.”
Itu
adalah ucapan terakhir tante yang pernah ku dengar. Polisi datang dan langsung
menangkapku bak seorang pembunuh kelas berat. Sejak saat itu, kepalaku bagai
balon yang berisi kehampaan yang mengawang kemana-mana. Aku tak pernah tahu
mengapa mereka memperlakukan aku seperti ini. Aku hanya tak ingin ibu mati sore
itu di tangan ayah. Aku ingin ibu tetap ada untuk memasakanku sayur yang
matangnya sempurna. Hingga aku tak sadar, ibu telah disirami ayah air keras.
Lalu jiwa ayah entah kemana. Ku ingat, bulan saat semua perkara itu terjadi
adalah bulan ini. Agustus.
Barangkali
aku mendapatkan remisi, aku akan mengajarkanmu bagaimana cara agar tetap
mempertahankan apa yang kau senangi untuk tidak pernah hilang sepertiku. Namaku
Bila, dan berhentilah terus menerus membaca cerita ini.
NN.
Fajar, 7 September 2014.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Entri Populer
-
Apa yang kalian rasakan ketika jatuh cinta pada orang yang tak akan pernah tahu kalau ia sedang dijatuhcintai? Sakit? Pedih? Mungkin seperti...
-
Selamat pagi, Mei. Semoga hadirmu kian mempertegas banyak hubungan di luar sana. Termasuk yang satu ini. ...
-
Selamat memasuki bulan kemarau! Aku harus menuliskan itu sebagai pengingat bahwa saat ini memang sedang musim k...
-
Aku tidak tahu apa-apa, atau maksudku aku hampir tidak tahu apa-apa tentang orang yang mengaku sangat mencintaiku itu. Semalam ada...
-
Lama sekali rasanya baru bisa kembali menulis di sini. Kalau blog ini adalah rumah, dia pasti sudah berjaring laba-laba dan berbau debu....
-
Makassar; abu-abu bulat putih. 8 Februari 2015. Untuk kakak yang berurusan dengan kapal tapi mencintai sastra. Selamat pagi dari hello 64...
-
Berbicara tentang Sengkang, berbicara tentang rumah tempat pulang. Ada begitu banyak tempat untuk singgah setelah melalui ban...
-
Belajar dari kepergian yang kemarin, semoga tuan muda dalam tulisan ini berkenan untuk tetap tinggal. Bersamaku. Apapun yang terjadi. Sel...
0 komentar:
Posting Komentar