Matahari dari Mata Ai
Untuk kesekian kalinya
aku kembali duduk di taman yang semenjak kepergiannya sudah ditumbuhi berbagai
macam bunga berbagai warna. Namaku Ridan. Lelaki yang sampai hari ini masih
percaya, jika cinta masa kecilnya akan kembali datang seperti apa yang ia yakini
selama ini. Aku menunggu seorang perempuan bermata sayu yang ku temui di halte
dekat sekolah, tepat saat hujan di luar turun dan perempuan itu sedang memegang
payung warna-warni, yang dari jauh nampak sangat kontras dengan warna seragam
abu-abunya serta jaket yang berwarna gelap. Dengan pakaian yang juga setengah
basah, ku tatap ia penuh dingin sore itu.
Bel sekolah memang telah berbunyi lantang sejam yang
lalu. Saat bertemu dengan dia, arloji di tanganku sudah menunjukkan pukul 4
sore. Dan dia belum pulang. Perempuan itu masih di halte dengan memegang
payungnya, dan aku masih duduk dengan setia menatapnya dari dekat. Aku ingat,
waktu itu ku beranikan diri untuk mengajaknya berbicara. Sedikit saja. Agar
rasa penasaran dari dalam diriku sedikit mereda. Sore itu, di halte dengan
kursi yang sudah mulai reot.
“Halo.” Sapaku gugup.
Dia berbalik. Menutup payung, dan ikut duduk di
sampingku. Dan oh tidak. Dia tersenyum.
“Halo juga.” Terdengar hangat.
“Hujannya deras sekali. Kau menunggu seseorang?”
“Tidak. Aku tidak menunggu siapapun.”
“Lantas mengapa kau ada disini? Kenapa tidak pulang
sedari tadi?”
“Kau sudah terlalu banyak mengajakku berbicara. Bahkan
sebelum aku mengetahui namamu terlebih dahulu.”
Kurasa jantungku akan berhenti berdetak sesaat lagi.
“Oh ya. Maafkan. Aku Ridan. Namamu siapa?” jawabku gugup
sembari berusaha menyalami tangannya yang sudah berwarna pucat, mungkin karena
dingin.
“Halo, Ridan. Aku Ai. Airani Pertiwi.”
“Halo Ai. Senang mengenalmu. Apa aku sudah boleh kembali
bertanya lagi padamu?”
Oh
Tuhan. Semoga dia tidak mendengar detak jantungku yang sepertinya sudah mulai
tergesa-gesa.
“Boleh. Tentu saja”
Dia tersenyum. Ai tersenyum. Senyum hangat
yang mampu mengalahkan dinginnya hujan sore ini. Dari matanya, aku seperti
sedang melihat matahari terbit.
Itu
awal perkenalanku dengannya. Hingga hari ini, tepat setahun kita lulus sekolah
menengah, aku sudah tak pernah mendengar kabarnya lagi. Tapi aku masih ingat
sore itu, saat langit semerah tembaga.
“Ridan,
kau mencintaiku?”
“Oh
ayolah, Ai. Kau bahkan tahu itu sejak pertama kita bertemu. Kenapa kau masih
ragu? Sampai hari ini pun kau masih belum memberiku jawaban apapun.”
“Kalau
kau butuh jawaban, nantikan aku di tempat ini setahun lagi. Kau pasti terkejut
dengan jawaban yang kau dapatkan”
Itulah
alasan kenapa aku masih berada disini. Meski aku tahu, Ai tak akan pernah
kembali.
NN.
Fajar, 13 September 2014.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Entri Populer
-
Apa yang kalian rasakan ketika jatuh cinta pada orang yang tak akan pernah tahu kalau ia sedang dijatuhcintai? Sakit? Pedih? Mungkin seperti...
-
Selamat pagi, Mei. Semoga hadirmu kian mempertegas banyak hubungan di luar sana. Termasuk yang satu ini. ...
-
Selamat memasuki bulan kemarau! Aku harus menuliskan itu sebagai pengingat bahwa saat ini memang sedang musim k...
-
Aku tidak tahu apa-apa, atau maksudku aku hampir tidak tahu apa-apa tentang orang yang mengaku sangat mencintaiku itu. Semalam ada...
-
Lama sekali rasanya baru bisa kembali menulis di sini. Kalau blog ini adalah rumah, dia pasti sudah berjaring laba-laba dan berbau debu....
-
Makassar; abu-abu bulat putih. 8 Februari 2015. Untuk kakak yang berurusan dengan kapal tapi mencintai sastra. Selamat pagi dari hello 64...
-
Berbicara tentang Sengkang, berbicara tentang rumah tempat pulang. Ada begitu banyak tempat untuk singgah setelah melalui ban...
-
Belajar dari kepergian yang kemarin, semoga tuan muda dalam tulisan ini berkenan untuk tetap tinggal. Bersamaku. Apapun yang terjadi. Sel...
0 komentar:
Posting Komentar