Selain Malam, Subuh Sungguh Bersahaja

Sesubuh ini aku berani menuliskan secarik puisi tentang kau yang pelan pelan pergi lalu menghilang. Ketika semeraut cinta mulai meninabobokkan kita, kau memilih keluar dan mengambil jalan berpendar lebih dari apa yang pernah ku dengar. Ku lihat kau sementara mengemasi kepedihan lain dari sisi perempuan lamamu, berusaha menyobek cerita dengan dagu terangkat seolah ia enggan kau kenangkan. Ku tatap nanar kepergianmu pagi itu di bandara tersibuk seluruh dunia, mengantarmu dengan senyum seolek penari palik molek sejagad raya yang tidak pernah dimakan usia. Kau begitu tampan, dengan segala keperkasaan yang selama ini kau ceritakan. Dengan segala tingkah kekikukan yang selalu kau hadirkan pada setiap bincang ringan kita sembari ku rapatkan pandangan pada bidang, dadamu. Sayangku.

Sesubuh ini, aku menatap bulan samar samar pada cahaya langit segar yang katanya membawa rejeki berlimpah ruah ruah.
Namun aku masih saja merindukanmu. Jarak? Ah. Jarak. Ia bak sekokoh tembok yang melebihi kepemilikan cina. Ya, jarak. Ia tembokku dan kau. Namun jauh sebelum hari ini kau rencanakan, ketahuilah aku tengah mempersiapkan tabahku sendiri untuk menantimu yang ku tahu sebentar lagi bersiap mengemas semua.

Sesubuh ini, aku membayangkanmu terbaring di antara orang orang asing. Berbicara sedekat mungkin hingga kalian mendapatkan intim. Dan aku, tak perlu lagi kau tempatkan dalam memori. Sebab yang ada hanyalah aku dan rasa kehilangan luar biasaku yang ku buang jauh jauh dalam tulisan puisi puisi hangat buatmu, sehingga berlusin lusin puisi akan segera ku hadirkan dari dalam jantungmu yang mulai keluh dengan semua peluh yang bahkan tak pernah kita bayangkan menjadi seperti ini; menjadi debu.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman