Sabtu dan Sejumlah Rentetan Pilu.

Namaku Riak. Menurut cerita nenek, ibu adalah seorang perempuan yang memiliki rambut beriak. Namun nenek tak pernah menamai ibu dengan nama Riak. Maka akhirnya ibu yang sangat menyenangi nama itu mulai memberiku nama Riak. Padahal aku adalah seorang gadis yang memiliki rambut panjang dan lurus. Bermata bulat namun tak berisikan apa-apa, serupa balon dengan isi gas yang mudah menguap dan hilang begitu saja. Kisahku pun demikian. Orang-orang menghilang tanpa berusaha ku cegah.

Anehnya disetiap kehilangan yang terjadi berulang-ulang sejak umurku berkisar 10 tahun, Tuhan memilih hari Sabtu untuk menjadi tumbal kebencianku sampai saat ini. Sabtu. Huh. Semua orang ku rasa setuju itu adalah hari dimana kita bisa menghabiskan seluruh waktu istirahat bersama dengan orang-orang yang kita sayangi. Aku? Tentu saja tak seberuntung kalian. Sejak kecil, aku tak pernah di dekap ibu erta-erat. Tak pernah ada kecupan manis sebelum tidur. Tak pernah ada pembacaan dongeng pengantar tidur. Semua tak pernah ada. Jadi kalian tak perlu heran, jika suatu saat kita berjumpa dan aku tak memperlakukan kalian selembut apa yang ibu kalian lakukan saat kalian masih kecil dulu. Jangan harap, maksudku.

Setelah berumur 15 tahun, ku rasa itu waktu yang cukup lama untuk nenek menyusun diksi yang ia pilih sehingga paling tidak aku tak merasakan perih. Dari neneklah, ku ketahui ibu pergi meninggalkanku yang masih berumur 10 tahun. Nenek tak mengutarakan apa alasan ibu sehingga ia dengan tega pergi dan tak pernah berkabar hingga kisah ini ku tuliskan dan kalian bacakan. Tetapi dari garis dan air wajahnya, ku rasa nenek menyimpan ribuan duka yang masih belum bisa ia lupa. Wanita renta itu memang bermata sendu. Kemudian aku mencoba menghubungkannya satu-satu. Ku rasa kisah ibu yang pergi, serupa hujan. Dia terus datang dan mengisi kesenduan di mata nenek yang memang telah mendung sedari dulu. Namun ini bukanlah kisah puitis cinta basi, yang pernah kalian dengar bahwa setelah hujan maka akan muncul pelangi yang indah. Tidak. Mata nenek tak demikian. Disanalah hujan terus turun. Setiap kali mengenang ibu.

Hari ini, tertanggal 15 Maret 2014. Tak pernah ku rasa kepergian nenek sudah begitu lama. Dua tahun, bukan waktu yang sebentar menurutku. Kemudian aku kembali berkunjung ke makam nenek. Untuk kedua kalinya aku kesini, dan situasi masih tetap sama. Miris dan perih membaurkan diri menjadi satu. Aku tak pernah lupa membawa payung ketika berniat mengunjungi nenek yang terbaring di bawah sana. Sebab setelah kepergian ia dan matanya, ku rasa Tuhan mengatur semua jadwal dengan baik dan saksama. Hujan mungkin tak ku lihat lagi turun dari mata nenek semnejak ia tiada. Namun makam tempat ia beristirahat, selalu berbau basah. Bagaimana tidak? Setiap berkunjung kesini meskipun itu baru ku lakukan dua kali, hujan selalu mengantarku dan bak tuan rumah paling baik, ia selalu membukakanku pintu untuk bertemu dengan nenek. Aku selalu merasa menatap mata nenek ketika melihat langit yang murung dan mendung, kemudian turunlah hujan bersahut-sahutan. Mirip mata nenekku. Yang selalu duka di setiap sudutnya.

Saat ini umurku sudah menginjak 20 tahun dan aku belum sekalipun melihat pelangi. Mengintip pun tak pernah. Aku terkadang berprasangka bahwa pelangi lah yang tak pernah mau menampakkan dirinya padaku. Mungkin pelangi sedang sibuk membuka rona-ronanya pada orang lain. Tebar pesona agar tak ada lagi hati yang bermuram. Atau mungkin pelangi adalah sosok anugerah Tuhan yang paling sombong. Hingga ia tak pernah mau ku hitung warna yang ia miliki dari dekat. Tak pernah.

Misteri kepergian ibu, akhirnya terjawab setelah aku menikah dengan seorang lelaki kaya raya yang ku percaya memiliki mata seperti nenek. Hanya saja warnanya sedikit lebih terang dengan goresan cokelat pada setiap ujung bola matanya. Dia sosok pekerja keras dan penolong. Sebab dari dialah, ku ketahui. Ibu telah menikah dengan orang lain di luar negeri setelah ayah memotong jari lentiknya dan menyuruh ibu untuk berhenti menari. Pantas saja aku heran. Setiap hujan di luar, aku begitu ingin menari. Ada gerakan-gerakan aneh yang ku rasa tak pernah ku pelajari dari siapapun tetapi mampu ku lakukan.

Hingga di suatu sabtu yang lembut, udara berbau mendung dan kemudian ku sajikan kopi untuk suami ku yang sedang menonton acara kesukaannya itu. Ia meminumnya sembari mengelus jariku yang lentik.
Tetapi dia sepertinya tak sadar. Dalam kopi itu telah ku masukkan jari ibu yang telah ku haluskan. Pemberian nenek sebelum ia tertidur selamanya. Suamiku harus meminumnya sampai habis. Lagi pula, menurutku kalian akan melakukan hal yang sama jika menjadi aku. Siapa yang tahan, apabila memiki seorang suami yang merupakan anak dari ibumu dan kekasih gelapnya?

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer

Total Tayangan Halaman