PEREMPUAN DAN KISAHNYA
Tersebutlah seorang wanita
yang tinggal dalam sebuah rumah yang ukurannya tidak terlalu besar. Dia tinggal
seorang diri sekarang. Setelah kepergian suaminya setahun silam. Berbulan-bulan
ia hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Padahal jika diliat dari segi
wajah, dia adalah seorang perempuan yang cantik. Kulitnya putih bersih, dengan
alis tebal dan hidung mancung serta mata bulat sempurna. Hanya sayang, saat ini
penampilannya sangat berbeda. Saat dimana suaminya masih hidup, saat mereka
berdua menggantungkan penuh harapannya untuk memiliki anak setelah menikah.
Hingga saat suaminya pergi, dia belum dapat menggendong anak perempuan seperti
yang dia impikan.
Sejak kepergian suaminya, perempuan
itu tetap melakukan semua kegiatannya seperti biasa. Menanak nasi, menggoreng
ikan, menyeduh teh. Dia masih menyiapkan semuanya untuk porsi dua orang. Dia
sendiri, dan mendiang suaminya. Dia melakukan itu semua tanpa bosan, tanpa
jenuh, dan tanpa berfikir bahwa suaminya sudah tidak ada. Saat perempuan itu
menanak nasi, dia selalu memandang lurus tumpukan kayu yang lapuk dimakan api.
Pandangannya kosong. Tak ada arti lagi. Entah apa yang sedang berkejar-kejaran
dibenaknya saat itu. Entahlah. Terkadang, aku selalu ingin bertanya. Sayangnya,
pita suaraku rasanya selalu tergulung.
Setelah menyiapkan hidangan itu, dia
akhirnya duduk. Tersenyum. Memandang jauh ke jendela rumah yang kebetulan
berhadapan persis dengan meja makannya. Mungkin saja dia sedang menunggu
suaminya pulang kerja. Mengucapkan salam, mencium tangannya, mengambil tasnya,
dan menyuruh suaminya segera makan. Hal yang sebenarnya sudah tidak dapat dia lakukan lagi. Aku ingat. Ada
satu kebiasaan perempuan itu dan suaminya saat malam menunjukkan pukul 22.00.
Mereka berdua akan berbaring di teras rumah. Memandang bintang. Menghitung
jumlahnya yang jatuh satu-satu. Menatap bintang jatuh itu dengan tetap bermohon
dalam hati untuk segera diberikan anak perempuan. Oh, atau setidaknya anak saja
dulu. Sesuatu yang indah dan berharga bagi mereka.
Na’as. Suaminya mengalami kecelakaan
saat pulang kerja. Motor yang ditumpanginya mengalami kecelakaan beruntun. Dan
orang yang meninggal hanyalah suaminya. Sungguh perih perempuan itu. Aku bisa
tau. Aku tau jelas dari wajahnya. Lagi-lagi aku tak punya daya. Daya dan
upayaku kini hanya bisa selalu tersenyum melihatnya. Walau sebenarnya aku lelah
untuk duduk terus di tempat ini. Menatapnya hanya dari jauh. Menatap satu-satu
air matanya yang mengalir. Menatap dan tersenyum kaku. Tetap seperti ini. Aku,
boneka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Entri Populer
-
Apa yang kalian rasakan ketika jatuh cinta pada orang yang tak akan pernah tahu kalau ia sedang dijatuhcintai? Sakit? Pedih? Mungkin seperti...
-
Selamat pagi, Mei. Semoga hadirmu kian mempertegas banyak hubungan di luar sana. Termasuk yang satu ini. ...
-
Selamat memasuki bulan kemarau! Aku harus menuliskan itu sebagai pengingat bahwa saat ini memang sedang musim k...
-
Aku tidak tahu apa-apa, atau maksudku aku hampir tidak tahu apa-apa tentang orang yang mengaku sangat mencintaiku itu. Semalam ada...
-
Lama sekali rasanya baru bisa kembali menulis di sini. Kalau blog ini adalah rumah, dia pasti sudah berjaring laba-laba dan berbau debu....
-
Makassar; abu-abu bulat putih. 8 Februari 2015. Untuk kakak yang berurusan dengan kapal tapi mencintai sastra. Selamat pagi dari hello 64...
-
Berbicara tentang Sengkang, berbicara tentang rumah tempat pulang. Ada begitu banyak tempat untuk singgah setelah melalui ban...
-
Belajar dari kepergian yang kemarin, semoga tuan muda dalam tulisan ini berkenan untuk tetap tinggal. Bersamaku. Apapun yang terjadi. Sel...
0 komentar:
Posting Komentar