Kita, dan Hujan Siang Itu
Stasiun
Cirebon, pagi itu. Seorang pemuda sedang duduk bersandar pada sebuah kursi
panjang. Kursi yang sedari tadi tidak pernah berhenti sibuk. Sibuk menyiapkan
badan terbaiknya untuk di duduki oleh orang-orang yang silih berganti. Masih
dengan memakai kaos oblong, dia duduk tenang sembari masih berusaha membuka
matanya selebar mungkin. Dia sedang menunggu seseorang yang penting. Untuknya.
Bertahun-tahun dia menantikan hari ini. Dia akhirnya memutuskan untuk datang
lebih awal. Jam tua pada stasiun sudah menunjukkan pukul 09.00. Dia sudah duduk
2 jam. Kereta yang diharapkannya datang secepat mungkin juga belum muncul.
Entah
setelah tarikan nafas yang keberapa, kereta tersebut datang juga. Lelaki itu
segera berdiri. Merapikan rambut dan pakaiannya yang sejak tadi sudah kusut.
Dia kemudian berlari menuju pintu kereta. Turunlah beberapa penumpang, dengan
membawa tas mereka masing-masing. Tak beberapa lama kemudian, wanita yang dia
cari keluar. Dia segera menyapanya. Bersalaman, berkenalan, tertawa kecil.
Orang-orang mulai menatap lelaki itu dengan curiga. Mungkin sedikit heran.
Kemudian mereka berdua akhirnya berlalu.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 12.00. Cirebon sedang mendung. Awan-awannya berkerumun
membentuk barisan abu-abu. Kemudian sepakat menurunkan butiran air siang
itu. Lelaki dan wanita tadi saat ini
sedang duduk di sebuah kedai kopi tua. Tua? Iya, setidaknya itu yang terlihat
ketika memasuki kedai tersebut. Hanya ada sebuah jendela kaca putih bersih yang
terlihat mewah disana.
Mereka
kemudian memilih duduk di dekat jendela kaca tadi. Lima menit berlalu. Saat ini
mereka sedang menatap. Menunggu pesanan. Tak lama, lelaki tersebut memulai
pembicaraan. Basa-basi. Wanita ini diam. Dia tetap asik memainkan ujung
kerudung merah jambunya. Lelaki tersebut juga akhirnya memilih ikut diam. Tak
beberapa lama, pesanan tiba. 10 menit berlalu. Tak ada yang saling memulai
pembicaraan lagi. Terdiam. Keadaan kembali sunyi. Mereka tenggelam dalam
pikiran masing-masing. Entah apa.
Setelah
beberapa menit berlalu, wanita itu membuka pembicaraan. “Aku tau hari ini pasti
datang juga. Bagaimana denganmu?” Lelaki tersebut kemudian tersenyum lalu
berkata “Aku juga seperti seperti itu. Tepat seperti yang direncanakan.
Sekarang, kau percaya Tuhan Maha Pengatur segalanya bukan?” Wanita itu
tertunduk. Diam. Sunyi menyergap lagi. Kali ini tiba-tiba sekali. Setelah
merasa puas menyelami pikirannya, wanita itu kembali berkata “Tentu, aku
percaya. Dan karena tuntunan dari firasatku jugalah aku akhirnya bertemu
denganmu. Untuk pertama kalinya. Menatapmu dalam diam. Melihatmu dari dekat.
Lekat sekali. Kau tau, ada beberapa hal yang tidak bisa ku jelaskan saat ini.
Beberapa hal yang akhirnya mempertemukan kita disini. Di tempat ini. Di kotamu.
Ada banyak hal yang tidak pernah kau sadari dari dulu. Sampai saat ini. Kau tau
itu?”
Lelaki
tersebut kemudian berkata, “Apa maksudmu? Kau mau berkata kalau yang
orang-orang bicarakan tersebut adalah benar? Kau mau buat aku semakin gila?”
Nadanya mulai meninggi. Wanita tersebut hanya tersenyum. Menatap keluar
jendela. Pembicaraan mereka usai tanpa ada jawaban. Seperti
pembicaraan-pembicaraan lain di luar sana.
Orang-orang
di samping meja lelaki tersebut menatap terheran-heran. Lalu saling berbisik.
Ada sesuatu yang salah dari perbincangan mereka. Namun, lelaki dan wanita itu
hanya diam. Saling menikmati kopi masing-masing. Sementara hujan di luar
semakin deras. Wanita tersebut semakin malas pulang. Makamnya pasti becek lagi.
NN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Entri Populer
-
Apa yang kalian rasakan ketika jatuh cinta pada orang yang tak akan pernah tahu kalau ia sedang dijatuhcintai? Sakit? Pedih? Mungkin seperti...
-
Selamat pagi, Mei. Semoga hadirmu kian mempertegas banyak hubungan di luar sana. Termasuk yang satu ini. ...
-
Selamat memasuki bulan kemarau! Aku harus menuliskan itu sebagai pengingat bahwa saat ini memang sedang musim k...
-
Aku tidak tahu apa-apa, atau maksudku aku hampir tidak tahu apa-apa tentang orang yang mengaku sangat mencintaiku itu. Semalam ada...
-
Lama sekali rasanya baru bisa kembali menulis di sini. Kalau blog ini adalah rumah, dia pasti sudah berjaring laba-laba dan berbau debu....
-
Makassar; abu-abu bulat putih. 8 Februari 2015. Untuk kakak yang berurusan dengan kapal tapi mencintai sastra. Selamat pagi dari hello 64...
-
Berbicara tentang Sengkang, berbicara tentang rumah tempat pulang. Ada begitu banyak tempat untuk singgah setelah melalui ban...
-
Belajar dari kepergian yang kemarin, semoga tuan muda dalam tulisan ini berkenan untuk tetap tinggal. Bersamaku. Apapun yang terjadi. Sel...
0 komentar:
Posting Komentar