Cinta Tanpa Nama
Ketika semua orang yang beranjak dewasa mungkin akan
mengalami yang namanya jatuh cinta. Seperti juga aku, N. Ini tentang kamu. Oh,
Tuhan. Aku bahkan tidak percaya aku bisa begitu menyukainya. Entah dari
segimana. Tapi, ah! Apalah gunanya aku mencari tau itu semua. Toh, untuk
mencintai Tuhanku saja aku bahkan tidak harus punya alasan yang logis, bukan?
Oh, tapi tidak. Untuk yang satu ini berbeda. Bukan cinta pada keluarga. Bukan
cinta pada Tuhan. Bukan, bukan. Ini cinta, kepada sesama manusia. Entahlah,
darimana ini semua bermula. Apakah dari aku SMP? SMA? Ah, atau jangan-jangan
aku bahkan telah jatuh cinta padamu dari sejak aku lahir? Atau mungkin saja,
sebelum kita lahir, namaku dan namamu memang sudah dituliskan para malaikat mulia
itu di atas sana, dan Tuhan tengah berusaha merangkaikan cerita untuk kita
berdua di dunia nanti? Entahlah.. Kalau benar begitu, ku rasa Tuhan memang
menakdirkan kita bertemu hari ini, disini, dan yang jelas ini bukan kotaku,
kotamu, atau bahkan kota kita. Ini adalah ibu kota gemerlap orang-orang berdasi
dan berduit banyak. Apa kamu dan aku yang mahasiswa ini termasuk? Atau mungkin
suatu saat kita bisa menjadi seperti mereka? Sejajar mungkin? Atau bahkan
diatas tempat mereka yang sekarang? Entahlah, N..
Kita bertemu tepat saat aku beranjak SMA. Sekitar umur 16
tahun. Kita tidak sengaja bertemu. Baiklah, namaku NN. Sebut saja begitu.
Kalian harus tau, sampai akhir dari cerita ini aku bahkan tidak akan
menyebutkan siapa NN dan siapa N itu. Kembali lagi, kepadamu hai gadis manis
yang selalu menang memenangkan hatiku. Kau tau, aku bahkan tidak pernah segila
ini pada siapapun. Siapapun, termasuk mantan kekasihku yang paling indah
sebelumnya. Bagiku, kau memang sudah diciptakan Tuhan untuk menjadi lawanku di
SMA. Kau selalu keras membantah semua yang ku ucapkan saat ada diskusi
kelompok, lalu kau jugalah orang yang paling vokal menolak keras apa yang ku
katakan saat diskusi penentuan Perpisahan Sekolah. Aku tidak mengerti, apa yang
kau pikirkan saat itu. Waktu itu pula aku sangat dongkol dan sering menghujatmu
dalam hati. Kau tau, aku bahkan ingin sekali membenamkan wajahmu bersama
matahari pada saat jam 5 sore. Aku membencimu dengan semua kata-kataku yang
tidak pernah bisa kau terima. Entah apa yang ada di hati dan benakmu saat itu.
Apa kau membenciku atau memang kita selalu bersilang pendapat saat ada sesuatu
yang diperdebatkan. Oh, Tuhan. MakhlukMu yang satu ini benar-benar keras
kepala. Kepalanya mungkin terbuat dari berlapis-lapis ton baja, yang jarang
mendapat asupan oksigen, sehingga dia tidak pernah bisa mencerna atau mungkin
menerima pendapatku dan membenarkannya. Tidak pernah, sekalipun!
Aku yang paling tidak senang jika harus berselisih paham
denganmu N, pasti aku harus selalu mengalah. Walau akhirnya aku yang harus
mendapat berbagai kekesalan dari teman-teman sekelasku yang menyayangkan kenapa
tidak ku pertahankan pendapatku. Tapi sayangnya, mereka tidak pernah tau, kalau
aku lebih menyayangkan sekali jika harus berdebat denganmu, dengan akhir kau menangis
keluar ruangan, dan.. Oh jangan jangan! Aku tidak tahan melihat itu. Kau harus
tau, nanti kapan-kapan akan ku ceritakan padamu, N. Begitu seringnya aku
mengalah demi melihatmu senang saat kita SMA. Begitu banyak cerita.
Lalu, inilah kita sekarang. Sedang duduk di bangku taman.
Diam dan bisu. Begitu sunyi. Padahal ini baru pukul 4 sore. Selepas dari
kampus, memang kita janjian untuk bertemu di tempat ini. Aku bersyukur pada
Tuhan, karena untuk tahun ke 4 aku masih bisa melihatmu, walaupun dari jauh
karena kekasihmu yang kaku itu selalu saja mengawasiku saat dekat denganmu.
Sore ini, kita berdua. Lepas. Kau tidak membawa kekasihmu, dan aku sendiri yang
memang tidak punya kekasih akhirnya tidak membawa siapa-siapa untuk menemaniku.
Aku sengaja ingin menghabiskan sore denganmu. Sekali saja, sejak kita sama-sama
pindah ke ibu kota ini. Sekali saja, mencium baumu N yang masih tetap saja sama
saat kita masih SMA dulu.
Kau diam. Tapi kau tidak kaku. Kau bahkan berbalik padaku
untuk sekedar memberi senyum simpul, berbalik, dan kembali terdiam memandangi
panorama senja dari sini, dari sisiku. Dalam hati aku berbisik “Ah, Tuhanku. Kenapa dia tidak pernah bisa
tau bahwa aku selama ini menyimpan cinta untuknya? Cinta yang bahkan telah ku
sisihkan dari cintaku padaMu, dan pada keluargaku. Cinta itu harusnya milik
dia. Kapan dia bisa menyadari itu?” Aku tidak pernah bisa tau, apa yang sedang kau
pikirkan N. Apa kau juga mencintaiku? Apa kau tidak mencintaiku? Lalu kenapa
kau bersedia menemuiku di tempat ini, setelah 5bulan kita berpisah? Apa
maksudmu setia membaca statusku di media sosial? Apa aku yang terlalu
berlebihan mencintaimu? Ku pikir mungkin tidak. Atau mungkin iya, hanya sedikit
lebih banyak.
Sementara disisi lain, sebuah hati berbisik kecil ”NN, kita akhirnya bertemu juga. Setelah
petang datang, aku akan memupuk cintaku lagi untukmu. Mungkin ini bukan dari
segelintir cita-citaku di ibu kota, tapi kau tau NN, kamu adalah cintaku. Bukan
si kaku yang selalu sok tau itu. Kau mengerti aku, seperti awan yang selalu mengerti
tentang langit biru. Kau selalu ada menyiapkan bahumu, saat datang waktu sendu
untuk kembali beradu padamu, ketika rindu datang menyelinap masuk ke dalam
rongga hatiku, ah.. NN. Kau itu puisi yang tidak pernah sempat ku tuliskan
akhirnya. Seperti kita, saat ini..”
Aku berbalik, merengkuhmu dalam hangat. Memelukmu saat senja
tiba. Cinta kali ini betul-betul berbeda. Cinta yang sulit ku deskripsikan
seperti apa bentuk dan caranya menyentuh hati. Cinta yang semoga Tuhan tidak
mengutukku karena ini. Sama seperti Saat matahari mulai malu malu tenggelam.
Memaksa malam yang akan segera datang. Semoga Tuhan juga tidak mengutuk
matahari yang terlalu memaksa. Lalu disinilah kita, saling memeluk dan saling
percaya. Kebersamaan itu sedang di rencanakan Tuhan. Sedang di strategikan
Tuhan seindah mungkin. Kita tinggal berjalan bersama dengan iman yang masih ada
di dada, menunggu janji Tuhan untuk menyelesaikan semuanya.
Pepabri, 19.25
Untuk N, yang bahkan belum
Sempat ku tulis namanya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Entri Populer
-
Apa yang kalian rasakan ketika jatuh cinta pada orang yang tak akan pernah tahu kalau ia sedang dijatuhcintai? Sakit? Pedih? Mungkin seperti...
-
Selamat pagi, Mei. Semoga hadirmu kian mempertegas banyak hubungan di luar sana. Termasuk yang satu ini. ...
-
Selamat memasuki bulan kemarau! Aku harus menuliskan itu sebagai pengingat bahwa saat ini memang sedang musim k...
-
Aku tidak tahu apa-apa, atau maksudku aku hampir tidak tahu apa-apa tentang orang yang mengaku sangat mencintaiku itu. Semalam ada...
-
Lama sekali rasanya baru bisa kembali menulis di sini. Kalau blog ini adalah rumah, dia pasti sudah berjaring laba-laba dan berbau debu....
-
Makassar; abu-abu bulat putih. 8 Februari 2015. Untuk kakak yang berurusan dengan kapal tapi mencintai sastra. Selamat pagi dari hello 64...
-
Berbicara tentang Sengkang, berbicara tentang rumah tempat pulang. Ada begitu banyak tempat untuk singgah setelah melalui ban...
-
Belajar dari kepergian yang kemarin, semoga tuan muda dalam tulisan ini berkenan untuk tetap tinggal. Bersamaku. Apapun yang terjadi. Sel...
0 komentar:
Posting Komentar